Manusia dan Ekonomi
Indonesia
sekarang merupakan satu masyarakat kapitalis yang bersifat setengah jajahan.
Bilur-bilur luka sisa feodalisme pun masih di sekujur tubuhnya. Kapitalisme
neoliberal telah menderas, terutama di era akhir kekuasaan Orde Baru. Dilanjutkan
dengan revolusi damai di era demokrasi liberal sekarang, ada proses up and down
dalam arus putaran sistem perekonomian di setiap kurunnya. Tiap-tiap terjadi
penurunan, senantiasa disertai kebangkitan. Asia mengalami kebangkitan ekonomi
kembali setelah diringkus oleh krisis pada tahun 1997. Meski bersifat parsial,
tanda-tanda pemulihan menyeruak kembali. Sepanjang ekonomi Amerika Serikat
tetap tumbuh dan menyerap ekspor, ekonomi Asia berpeluang untuk mengekspor
‘surplus’ komoditi yang tak terbeli oleh rakyat sendiri. Proses yang sangat
ditolong oleh devaluasi mata uang inilah yang membuat ekspor mereka lebih murah
ketimbang sebelumnya. Kapitalisme sudah merupakan motor perubahan sejarah yang
‘revolusioner’ dalam hamparan global, perubahan ini sekarang ditunjukkan oleh
fenomena globalisasi.
Indonesia kini mirip mozaik yang
sedang menuju berserakan oleh proses semua ini. Persis seorang bocah yang
bersijingkat di tepian ngarai yang tiap-tiap saat siap meremuk eksistensinya.
Tak ada yang lebih tepat dalam membuat lukisan watak ini semua, selain
sebagaimana yang pernah diujarkan oleh Antonio Gramsci (dia sendiri seorang
teoritisi dan praktisi gerakan buruh Italia), bahwa: ‘Manusia hanya berada di
permukaan dangkal peradaban; jika tergores sedikit saja, maka lapisan serigala
dalam dirinya akan muncul dengan cepat. Konflik-konflik tersebut punya akar
pada kepentingan kesejahteraan ekonomi masyarakat sebagai mata air keadilan
sejati mereka. Jika keadilan sejati ini dicederai, maka aus lah segenap ikatan.
Dengan begitu, akar dari segala akar ribut-ribut ini adalah ketidakadilan
ekonomi.
Ketika neoliberalisasi kian
mensenjangkan jarak sosial, rupanya ikatan kelas ikut diluluhlantakkan.
Seterusnya, Kenneth Roberts berkata bahwa artikulasi politik di Amerika Latin
pada periode awal transisi demokrasi tidak mendasarkan diri pada solidaritas
horizontal. Yang terjadi malah pengukuhan ikatan vertikal di mana ikatan dengan
kaum senasibnya malah meluntur. Kita
tahu persis bahwa era transisi di banyak negara berkembang merupakan reaksi
atas berkuasanya era otoriterisme. Kebiasaan politik penguasa otoriter di masa
lalu adalah penyingkiran sektor-sektor rakyat dari ajang politik lengkap dengan
aspirasi mereka yang (umumnya) berbasis, atau sekurangnya, berjargon kepentingan
kelas bawah. Berbarengan dengan itu, kekuasaan otoriter Orde Baru justru
merangkul dan mengkooptasi kelas menengah Indonesia. Kelas menengah ini lalu
dijadikan junior partners dalam sistem politik otoriter maupun ekonomi pasar
(baik yang ortodoks maupun yang terkendali). Ketika demokratisasi tak bisa
dicegah pada 1998, salah satu yang menjadi pengusungnya tak lain adalah
sebagian kelas menengah yang semasa rezim lama (ancient regime) menjadi junior
partners itu.
Sementara kalangan berujar bahwa
modernisasi niscaya akan membuat masyarakat kian urban, terspesialisasi, melek
huruf, terdidik dan serupa itulah. Berkait dengan ini, neoliberalisme ekonomi
ditunjuk sebagai fase terbaru dari modernisasi. Betulkah begitu ? Ketika
modernisasi hanya bisa mendorong tiap-tiap orang bersimpuh pada ‘disiplin
pasar’ (memenuhi kaidah mekanisme penawaran dan permintaan dalam
urusan-urusannya, mulai dari mencari pekerjaan sampai mengurusi kematian), tapi
saat berbarengan tidak membuat mereka melek secara politik (politically iliterate),
akibatnya adalah paradoks ini terjadinya proses derasionalisasi politik di
tengah proses rasionalisasi ekonomi neoliberal.
Nasionalisme merupakan gagasan yang
kompleks, yang melibatkan jaringan antara berbagai rupa loyalitas. Loyalitas
yang dimaksud adalah loyalitas individu sebagai anggota satu masyarakat, yang
dibekali hak dan kewajiban warga negara dalam sebuah kesepakatan timbal balik
dengan negara, serta peranan tiap-tiap orang sebagai produsen dan konsumen
dalam ranah perekonomian. Pada gilirannya, nasionalisme ekonomi ini condong
memanifestasikan dirinya ke dalam dua cara yang saling mengkait;
1) Karena
negara bangsa bergantung pada kekuatan-kekuatan pasar dalam hubungannya dengan
perdagangan internasional, investasi dan keuangan, maka secara alamiah ia condong
beradaptasi dan menyatukan kekuatan-kekuatan pasar eksternal untuk kepentingan-kepentingan
nasionalnya, dan
2) Negara
bangsa, khususnya jika ia merupakan pemain ekonomi internasional yang lemah,
punya kecondongan kian bergantung pada pasar internal ketimbang pada pasar
eksternal.
Dua pilihan tersebut adalah cerminan
bentuk pilihan yang sistematis dalam menghadapi globalisasi. Namun begitu,
pilihan tersebut mensyaratkan adanya koalisi kepentingan aktor-aktor politik
dan ekonomi di dalam negeri.
Strategi Makro: Koalisi Kepentingan
Nasional
Saya
menandai bahwa pilihan-pilihan kebijakan itulah teramat ditentukan oleh koalisi
kepentingan dari para pembuat kebijakan. Baik itu kebijakan yang menyangkut
penjualan asset-asset negara ke tangan asing, kebijakan upah buruh murah dan
serupa itu di satu pihak, maupun kebijakan nasionaliasi pertambangan, reforma
agraria dan sejenisnya di pihak yang berlawanan. Sebagai misal, ketika Evo
Morales di Bolivia atau Hugo Chavez di Venezuela melakukan nasionalisasi atas
asset migas mereka atau ketika pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan
untuk mempertahankan kontrak karya Freeport, mereka ini melakukannya tidak di
ruang hampa tubuh faal bangsa mereka masing-masing. Sebagai contoh: koalisi
berdasar gagasan indigenismo di Bolivia memancarkan satu pembelaan terhadap
mayoritas bumiputra Indian yang sudah selama sekitar 500 tahun tak memiliki
akses atas sumber daya alam mereka. Bersama orang-orang inilah, Evo Morales
menggalang koalisi kepentingan bangsa bagi program-program nasionalisasi maupun
juga program revolusi lahannya. Tentu saja dalam kasus lain, kontrak karya
Freeport yang terus dipertahankan bertolak dari kepentingan jenis lain. Yang
pastinya tidak bertolak dari amanat penderitaan suku-suku pribumi Papua atau
Indonesia pada umumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar