Minggu, 29 Januari 2012

Ekonomi

Manusia dan Ekonomi

            Indonesia sekarang merupakan satu masyarakat kapitalis yang bersifat setengah jajahan. Bilur-bilur luka sisa feodalisme pun masih di sekujur tubuhnya. Kapitalisme neoliberal telah menderas, terutama di era akhir kekuasaan Orde Baru. Dilanjutkan dengan revolusi damai di era demokrasi liberal sekarang, ada proses up and down dalam arus putaran sistem perekonomian di setiap kurunnya. Tiap-tiap terjadi penurunan, senantiasa disertai kebangkitan. Asia mengalami kebangkitan ekonomi kembali setelah diringkus oleh krisis pada tahun 1997. Meski bersifat parsial, tanda-tanda pemulihan menyeruak kembali. Sepanjang ekonomi Amerika Serikat tetap tumbuh dan menyerap ekspor, ekonomi Asia berpeluang untuk mengekspor ‘surplus’ komoditi yang tak terbeli oleh rakyat sendiri. Proses yang sangat ditolong oleh devaluasi mata uang inilah yang membuat ekspor mereka lebih murah ketimbang sebelumnya. Kapitalisme sudah merupakan motor perubahan sejarah yang ‘revolusioner’ dalam hamparan global, perubahan ini sekarang ditunjukkan oleh fenomena globalisasi.
          Indonesia kini mirip mozaik yang sedang menuju berserakan oleh proses semua ini. Persis seorang bocah yang bersijingkat di tepian ngarai yang tiap-tiap saat siap meremuk eksistensinya. Tak ada yang lebih tepat dalam membuat lukisan watak ini semua, selain sebagaimana yang pernah diujarkan oleh Antonio Gramsci (dia sendiri seorang teoritisi dan praktisi gerakan buruh Italia), bahwa: ‘Manusia hanya berada di permukaan dangkal peradaban; jika tergores sedikit saja, maka lapisan serigala dalam dirinya akan muncul dengan cepat. Konflik-konflik tersebut punya akar pada kepentingan kesejahteraan ekonomi masyarakat sebagai mata air keadilan sejati mereka. Jika keadilan sejati ini dicederai, maka aus lah segenap ikatan. Dengan begitu, akar dari segala akar ribut-ribut ini adalah ketidakadilan ekonomi.
          Ketika neoliberalisasi kian mensenjangkan jarak sosial, rupanya ikatan kelas ikut diluluhlantakkan. Seterusnya, Kenneth Roberts berkata bahwa artikulasi politik di Amerika Latin pada periode awal transisi demokrasi tidak mendasarkan diri pada solidaritas horizontal. Yang terjadi malah pengukuhan ikatan vertikal di mana ikatan dengan kaum senasibnya malah meluntur. Kita tahu persis bahwa era transisi di banyak negara berkembang merupakan reaksi atas berkuasanya era otoriterisme. Kebiasaan politik penguasa otoriter di masa lalu adalah penyingkiran sektor-sektor rakyat dari ajang politik lengkap dengan aspirasi mereka yang (umumnya) berbasis, atau sekurangnya, berjargon kepentingan kelas bawah. Berbarengan dengan itu, kekuasaan otoriter Orde Baru justru merangkul dan mengkooptasi kelas menengah Indonesia. Kelas menengah ini lalu dijadikan junior partners dalam sistem politik otoriter maupun ekonomi pasar (baik yang ortodoks maupun yang terkendali). Ketika demokratisasi tak bisa dicegah pada 1998, salah satu yang menjadi pengusungnya tak lain adalah sebagian kelas menengah yang semasa rezim lama (ancient regime) menjadi junior partners itu.
          Sementara kalangan berujar bahwa modernisasi niscaya akan membuat masyarakat kian urban, terspesialisasi, melek huruf, terdidik dan serupa itulah. Berkait dengan ini, neoliberalisme ekonomi ditunjuk sebagai fase terbaru dari modernisasi. Betulkah begitu ? Ketika modernisasi hanya bisa mendorong tiap-tiap orang bersimpuh pada ‘disiplin pasar’ (memenuhi kaidah mekanisme penawaran dan permintaan dalam urusan-urusannya, mulai dari mencari pekerjaan sampai mengurusi kematian), tapi saat berbarengan tidak membuat mereka melek secara politik (politically iliterate), akibatnya adalah paradoks ini terjadinya proses derasionalisasi politik di tengah proses rasionalisasi ekonomi neoliberal.
          Nasionalisme merupakan gagasan yang kompleks, yang melibatkan jaringan antara berbagai rupa loyalitas. Loyalitas yang dimaksud adalah loyalitas individu sebagai anggota satu masyarakat, yang dibekali hak dan kewajiban warga negara dalam sebuah kesepakatan timbal balik dengan negara, serta peranan tiap-tiap orang sebagai produsen dan konsumen dalam ranah perekonomian. Pada gilirannya, nasionalisme ekonomi ini condong memanifestasikan dirinya ke dalam dua cara yang saling mengkait;
1)    Karena negara bangsa bergantung pada kekuatan-kekuatan pasar dalam hubungannya dengan perdagangan internasional, investasi dan keuangan, maka secara alamiah ia condong beradaptasi dan menyatukan kekuatan-kekuatan pasar eksternal untuk kepentingan-kepentingan nasionalnya, dan
2)    Negara bangsa, khususnya jika ia merupakan pemain ekonomi internasional yang lemah, punya kecondongan kian bergantung pada pasar internal ketimbang pada pasar eksternal.
          Dua pilihan tersebut adalah cerminan bentuk pilihan yang sistematis dalam menghadapi globalisasi. Namun begitu, pilihan tersebut mensyaratkan adanya koalisi kepentingan aktor-aktor politik dan ekonomi di dalam negeri.
          Strategi Makro: Koalisi Kepentingan Nasional
Saya menandai bahwa pilihan-pilihan kebijakan itulah teramat ditentukan oleh koalisi kepentingan dari para pembuat kebijakan. Baik itu kebijakan yang menyangkut penjualan asset-asset negara ke tangan asing, kebijakan upah buruh murah dan serupa itu di satu pihak, maupun kebijakan nasionaliasi pertambangan, reforma agraria dan sejenisnya di pihak yang berlawanan. Sebagai misal, ketika Evo Morales di Bolivia atau Hugo Chavez di Venezuela melakukan nasionalisasi atas asset migas mereka atau ketika pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan untuk mempertahankan kontrak karya Freeport, mereka ini melakukannya tidak di ruang hampa tubuh faal bangsa mereka masing-masing. Sebagai contoh: koalisi berdasar gagasan indigenismo di Bolivia memancarkan satu pembelaan terhadap mayoritas bumiputra Indian yang sudah selama sekitar 500 tahun tak memiliki akses atas sumber daya alam mereka. Bersama orang-orang inilah, Evo Morales menggalang koalisi kepentingan bangsa bagi program-program nasionalisasi maupun juga program revolusi lahannya. Tentu saja dalam kasus lain, kontrak karya Freeport yang terus dipertahankan bertolak dari kepentingan jenis lain. Yang pastinya tidak bertolak dari amanat penderitaan suku-suku pribumi Papua atau Indonesia pada umumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar